Santo Carolus Borromeus adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Gereja Katolik. Ia dikenal atas kontribusinya dalam Reformasi Katolik serta usahanya memperbarui moral dan disiplin Gereja setelah Konsili Trente, dengan memperbaiki praktek yang menyimpang dan meningkatkan pembinaan iman umat dengan mendirikan seminari dan sekolah minggu, ia juga banyak membantu mereka yang miskin dan berkesesakan pada masa wabah pes tahun 1576.

 

Awal Kehidupan dan Pendidikannya

Santo Carolus Borromeus lahir pada 2 Oktober 1538 di Puri Arona, kota Milan, Italia Utara, dalam keluarga bangsawan Ghiberto Borromeo yang memiliki hubungan dekat dengan gereja. Ia adalah putra ke-3 dari 6 bersaudara dari Ibu Margaretha de Medici. Pamannya, Paus Pius 4, memberikan pengaruh besar pada kehidupan gerejawi Carolus.

Carlo, nama kecilnya, adalah bocah pendiam, berwatak kaku, menonjol dalam bidang musik, senang bermain catur dan memiliki minat baca yang kuat. Pada 15 Oktober 1545, di usia 7 tahun, ia menjalani upacara cukur rambut, menerima tonsure (paras suci) dan jubah relijius, yang menandai bahwa nantinya ia akan menerima pangkat dalam Gereja.

Pada usia 12 tahun ia pergi ke Milano untuk studi dan pada usia 14 tahun, ia melanjutkan studi bidang hukum gerejawi dan sipil di Un4ersitas Pavia, Italia, dan meraih gelar doktor pada usia 21 tahun. Ia menunjukkan kecerdasan dan kesalehan sejak muda. Pada usia 22 tahun, pamannya, Paus Pius 4, memanggilnya ke Roma dan pada tgl 13 Januari 1560 mengangkatnya menjadi Kardinal serta Sekretaris Negara Vatikan. Pada tahun yang sama, bulan Februari ia diangkat menjadi administrator (berkedudukan sama dengan uskup) Keuskupan Milano. Pada saat itu usia Carolus Borromeus baru 21 tahun.

Namun sebuah peristiwa yang menghentakkan dirinya terjadi. Frederiko kakaknya berpulang tanggal 19 Nopember 1562.

Dengan peristiwa kehilangan ini, keluarga mengharapkan ia menikah dan menggantikan kakaknya menjadi panglima besar laskar kepausan dan ahli waris Giberto. Karena toh saat itu Carolus Borromeus belum menjadi imam.

Mendengar itu, Carolus Borromeus menghadap Sri Paus dan mengungkapkan: “Aku telah memilih mempelai yang lain“.

Dan dengan berat hati akhirnya Sri Paus memberikan restunya. Tanggal 17 Juli 1563, ia ditahbiskan menjadi Imam dan tanggal 15 Agustus 1563 menjadi Misa Perdananya.  Carolus Borromeus semakin merindukan doa yang mendalam. Ia selalu terdorong untuk berdoa dan bermeditasi di biara Camalduan yang terletak di pegunungan. Disana ia dapat tenggelam dalam doa berjam-jam lamanya berkomunikasi dengan Mempelainya. Sebenarnya ia ingin masuk kontemplatif, tapi Sri Paus lebih membutuhkannya dan pada 7 Desember 1563 ia diangkat menjadi Uskup.

 

Reformasi dan Konsili Trente

Situasi Gereja Katolik di kala itu amat menyedihkan, para Pimpinan Gereja sibuk dengan kepentingan sendiri, sehingga umat tidak mendapatkan pelayanan yang layak. Kehidupan beragama umat dalam hal ajaran maupun moral pun memprihatinkan. Sehingga muncul Gerakan Reformasi Protestan Martin Luther. Paus Paulus III dengan semangat perubahan memulai Gerakan Kontra Reformasi dan mengajak Paus Pius 4, paman Carolus Borromeus.

Ketika Paus Pius 4 mengadakan sesi terakhir Konsili Trente (1545–1563), Carolus Borromeus memegang peran penting dalam pertemuan ini. Ia turut mengorganisir Konsili Trente dan berperan dalam pembuatan Katekismus Tredenti.

Konsili Trente menjadi penting, pertama untuk menyikapi Reformasi Protestan, bahwa ada perpecahan yang harus diterima, namun terutama karena kesadaran akan keselamatan jiwa-jiwa merupakan hukum tertinggi.

Konsili ini berfokus pada memperbaiki kebijakan Gereja Katolik yang rusak akibat praktik-praktik yang kurang terpuji seperti penjualan indulgensi, serta merespons tantangan dari Reformasi Protestan yang dipimpin oleh Martin Luther. Carolus Borromeus berkomitmen untuk menerapkan keputusan-keputusan yang dihasilkan Konsili Trente, seperti pendidikan klerus, penegakan disiplin gerejawi, dan pembaruan liturgi.

PELAYANAN DI MILAN

Pada tahun 1563, Carolus ditahbiskan menjadi Uskup Agung Milan, sebuah keuskupan besar yang saat itu berada dalam keadaan kacau. Ia melakukan kunjungan pastoral ke banyak paroki yang selama bertahun-tahun tidak memiliki uskup, dan memperbaiki kondisi moral serta spiritual para klerus. Ia mendirikan Oblat Santo Ambrosius agar memimpin para imam kepada kekudusan pribadi. Ia menyelenggarakan 5 sinode provinsi dan 11 sinode keuskupan.

Dia juga mendirikan seminari untuk pendidikan imam dan mempromosikan katekesasi bagi umat awam. Ia memberikan pengajaran Konfraternitas Doktrin Kristiani dan mendirikan banyak sekolah untuk anak-anak miskin dan siapa saja yang ingin mendapatkan pendidikan berkualitas.

Gerakan reformasinya mendapat pertentangan. Pada tahun 1569 terjadi percobaan pembunuhan atas dirinya. Ketika Sang Kardinal berdoa dengan posisi berlutut, tiba-tiba sebutir peluru menghantam dirinya, namun secara ajaib tidak melukainya. Ia selamat. Segala kesulitan yang dihadapi tidak mampu menghentikannya dalam merampungkan program-programnya.

HUMILITAS (lambang Keuskupan Agung Milano) “LEADERSHIP BY EXAMPLE”

Dari semua prestasinya, teladan kesucian hidupnyalah yang memberi kesan mendalam bagi umatnya. Carolus Borromeus merupakan anggota teladan dari Ordo Ketiga (Sekular) Santo Fransiskus.

 

 

Ia membagi-bagikan sebagian besar penghasilannya untuk tujuan karitatif, menahan dirinya dari kemewahan dan melakukan hidup pertobatan secara keras. Dia mengorbankan kekayaan, hidup penuh kemuliaan, kehormatan dan pengaruhnya di bidang sosial-politik untuk menjadi miskin, hidup seperti Yesus dan Fransiskus serta para murid Yesus yang sejati.

 

Jubahnya sungguh “tidak layak”, bahkan di mata para pengemis sekalipun. Ia adalah seorang yang rendah hati dan dengan hati-hati menyembunyikan pekerjaan-pekerjaan baiknya, hidup pertobatannya, dan devosi-devosi pribadinya dengan maksud agar orang-orang tidak memuji-mujinya. Sebagai seorang kardinal, Carolus tidak ragu-ragu untuk mencuci piring, mengunjungi rumah-rumah yang paling kumuh dan kotor, dan untuk mengajar seorang miskin sambil duduk berdua di pinggir jalan.

 

 

Perjalanan kunjungan parokinya disertai dengan silih dan mati raga yang berat.

———–

“Tak tergoyahkan dalam mempertahankan yang baik dan tak mengenal lelah dalam menolong sesama. Karena itu menyesuaikan diri dengannya, bukanlah suatu usaha yang mudah.” Pendapat Carlo Bascape, seorang sahabat St. Carolus.

 

 

WABAH PES

Pada tahun 1576 berjangkit wabah sampar di Italia Utara. Benjolan-benjolan sebesar telur asin di ketiak/sendi berwarna merah menjadi hitam. Suhu badan tinggi dan muntah darah. Dokter sulit dicari, jika ada, mereka meminta bayaran tinggi. Bau bangkai memenuhi kota. Bahaya penularan menghambat penguburan, akhirnya dibuatlah kuburan masal.

 

Carolus menunjukkan kepedulian luar biasa terhadap penduduknya.

Gedung Lazaret dipergunakan untuk menampung penderita. Mereka yang ingin menolong, namun dengan kemungkinan menarik keuntungan ditolak dan tidak diijinkan terlibat.

Dia berupaya untuk memberi makan-minum 60.000 sampai 70.000 orang setiap hari. Untuk ini dia meminjam uang dalam jumlah yang besar, yang kiranya memerlukan bertahun-tahun untuk pembayaran kembalinya.

 

Pada puncak wabah, banyak pemimpin sipil dan keagamaan lainnya melarikan diri dari kota, demi keselamatan diri mereka sendiri. Carolus tetap berada di kota membagikan makanan, melayani orang-orang sakit, merawat yang terinfeksi, dan memberikan dukungan rohani juga bagi mereka yang sedang meregang nyawa serta lain-lain.

 

Ia mengorganisir prosesi silih.

Dengan berbusana jubah berwarna gelap, tanpa alas kaki dan tudung kepada, tanda merendahkan diri, ia mengangkat tinggi-tinggi salib kayu yang berat.

Dalam doa khusyuk, arak-arakan bergerak ke gereja yang dipilih, 3x seminggu.

Salib menjadi lambang penderitaan mendalam yang pernah menimpa penduduk tapi sekaligus menjadi sumber kekuatan mereka untuk menganggung penderitaan itu dengan berserah.

Ketika pemerintah memperketat pengaturan karantina, sehingga orang tidak dapat lagi pergi ke Gereja. Carolus menyuruh orang membangun altar di tempat strategis dalam kota, sehingga orang-orang dapat mengikuti persembahan Misa Kudus lewat jendela rumah masing-masing. Ia menjadikan kota Milano sebuah Gereja yang besar, ia juga mengajak para imamnya untuk ikut terlibat merawat mereka yang menderita. Wabah menelan korban 17.000 jiwa di dalam kota Milano dan 8.000 di daerah sekitarnya.

 

Jika terdengar suara anak menangis dalam rumah, artinya ada ayah/ibu yang sakit, para penolong memanjat jendela untuk menyelamatkan anak itu. Santo Carolus mengumpulkan bayi yang ditinggalkan dalam sebuah rumah perawatan yang dilengkapi dengan sekandang kambing sebagai sumber minuman bagi bayi itu.

 

Namun jelas, tidak banyak yang meninggal dalam kesepian dan kehinaan tanpa komuni atau sakramen terakhir. Kendati mengerikan, namun orang meninggal dalam keutuhan iman yang sejati.

 

 

KEMISKINAN

Selain itu, pergeseran kekuasaan, hak istimewa bangsawan dan pejabat, penindasan, penyalahgunaan wewenang, menimbulkan sistem ekonomi kapitalis/pertarungan modal, mereka yang bermodal besarlah yang menang. Carolus mengumpulkan para pengemis dan menyerahkan pemeliharaannya kepada para Suster Benedictines. Ia juga menggerakkan usaha bantuan makanan dan pakaian, karena saat itu terjadi dalam musim salju. Apa saja yang dapat digunakan menutup tubuh dibagikan. Carolus menghidupkan keinginan untuk membantu pada banyak orang, sehingga aksi pengumbulan bahan pangan mendapat sambutan dari mereka yang tergerak hatinya.

 

 

HIDUP DOA

Carolus sering duduk berjam-jam sambil berdoa, biasanya tangannya menggenggam bola besi kecil. Bola jatuh ketika ia terlena, sehingga ia terbangun dan menghadapkan dirinya kembali kepada Allah.

 

 

DEVOSI KAIN KAFAN TURIN

Carolus sangat mengagumi kain kafan pembungkus jenazah Yesus. Ia mengadakan perjalanan silih ke tempat kain kafan itu disimpan dan terbenam sendirian dalam doa selama 40 jam.

 

 

DEVOSI KEPADA BUNDA MARIA

Ia juga sering mengunjungi Gereja St. Celsius, gereja yang dipersembahkan kepada Santa Maria, Ibu Yesus. Gereja itu menjadi tempatnya berlindung selama wabah sampar berkecamuk.

 

 

Carolus Borromeus juga mempersiapkan kemenakannya: Aloysius Gonzaga, untuk menerima Komuni Pertama, yang menjadi titik awal perjalanan kesucian Santo Aloysius.

 

Santo Carolus menggiatkan Sekolah Minggu, pengajaran agama setiap hari Minggu untuk kaum muda terlantar, yang pada saat itu kasar, dan suka mengganggu ketertiban.

 

Ia mengatasi kebutuhan akan Imam yang baik melalui pendirian seminari-seminari. Dalam masa jabatannya dibuka 15 kolese.

 

Carolus ingin merebut hati rakyatnya, bahkan seluruh dunia, bagi Kristus.

Hal itu mendorongnya melakukan askese/mati raga dalam doa, di meja makan, dalam perjalanan, dalam ziarah, juga untuk meredakan sifat adikuasa dan ketidaksabaran dalam dirinya.

Ia jarang menggunakan perapian, walaupun udara dingin sekali. Doa-doa dilakukannya sambil berlutut. Kekerasan sikapnya diimbangi cinta kepada sesama “Asal saja mereka bahagia” demikian ucapnya.

Kendati hari telah malam dan badannya melemah karena demam, Ia belum mau mengakhiri harinya sebelum doa malam bersama. Sebelum tidur, Carolus meminta lukisan dari wafat dan penguburan Kristus digantung di kamarnya.

 

—–

Hari-hari Terakhirnya

Acara harian, doa-doanya, kunjungan khalwatnya tetap padat walau ia sakit dan kurang waktu istirahat.

Kendati hari telah malam dan badannya melemah karena demam, ia belum mau mengakhiri harinya sebelum doa.

 

Para dokter dan para sahabat berdatangan menungguinya.

Santo Carolus menerima Sakramen tearkhir kemudian diberkatinya semua yang hadir.

Atas permintaannya dibacakan kisah sengsara Tuhan Yesus.

Kira-kira pukul 8 malam, hidupnya meninggalkan raganya.

Itu terjadi pada tanggal 3 November 1584.

Saat itu, usianya 46 tahun.

 

Jenasah Carolus Borromeus dibaringkan di kapel samping katedral Milano sampai tanggal 9 November.

 

Misa besar dan upacara pemakaman dipimpin oleh Monsinyur Sfondrati, salah seorang kerabatnya yang kelak kemudian hari terpilih menjadi Paus dengan gelar Gregorius XIV.

 

Notaris yang datang keesokan harinya ke istana uskup untuk mencatat harta peninggalan Carolus Borromeus, hanya mendapati sebuah tempat tidur, sepasang meja kursi, kasur kecil berisi jerami kering, sebuah bantal kulit, sebuah bangku doa dan beberapa lukisan. Sebelum itu Carolus Borromeus telah mewariskan perpustakaannya kepada para imam dari Gereja utama, pakaian yang masih bisa dipakai kepada Rumah sakit sedangkan puri Arona diwariskan kepada pamannya.

 

Pada tanggal 1 November 1610, upacara resmi pengangkatan Carolus Borromeus sebagai orang suci  dilakukan di Gereja Santo Petrus di Roma.

“Ia adalah penerus cahaya. Cahaya yang tak akan sirna, tapi tetap bersinar bagi gereja yang sangat ia cintai! (Paus Paulus V, dalam pengangkatan Carolus sebagai Orang Suci)

 

Banyak gereja dan lembaga pendidikan dinamai untuk menghormatinya, termasuk Universitas Katolik Santo Carolus di berbagai negara. Kisahnya menggambarkan dedikasi yang mendalam terhadap panggilan imamat dan pelayanan tanpa pamrih kepada umatnya, terutama dalam masa-masa sulit.

 

 

  • Buku Kisah Carolus Putra Borromeus (Sr. Catharinia Liedmeier CB)
  • https://ofsindonesia.weebly.com/santo-dan-santa/santo-karolus-borromeus1538-1584
Kisah Santo Carolus Borromeus (dari Berbagai Sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

id_ID